Buah gores: A. Asyad Algifari. TB
Jenis tulisan : gado-gado (hanya sekedar tulisan bebas).
BAGIAN III
Sinar senja menembus jendela kamar Nining. Membelai halus pipi tirusnya yang dibasahi bulir bening yang tak berhenti jatuh meski kedasarannya telah hilang.
***
İa menemukan dirinya tersenyum bahagia dihari wisudanya. Bukan wisuda karena gelar sarjana. Namun, karena ia telah menyelesaikan hafalan al-Qur’annya setelah masa masa sulit yang dilaluinya sejak kepergian Fahri ke Damaskus dua tahun silam. Kecepatan dalam menghafalnya bisa dikatakan lebih cepat dibandingkan teman temannya. Setelah memutuskan untuk pergi ke Cipondoh dan menunda rencana kuliahnya, ia memutuskan untuk menghafal Al-quran.
Dengan luka yang tak kunjung sembuh dan selalu mengundang perih, Nining malah semakin menenggelamkan dirinya dalam hafalannya. Semakin merindui membaca kalam-kalamNya, memasukannya dalam kalbunya yang diam diam masih saja menyimpan luka yang masih menganga yang bahkan belum juga mengering.
Ah, lihat saja. Bahkan, dalam kondisi terburuk sekalipun, Fahri adalah alasan terbesarnya untuk terus berubah. Nining rindu masa itu. Nining merindui Fahri dan Nining sadar betul, Fahri berada jauh berjuta kilometer dari tempatnya saat ini. Nining berubah menjadi pendiam. Namun, dia tetap berusaha untuk tumbuh dan terus tumbuh. Karena ia pun meyakini, bahwa Fahri juga pasti melewati masa masa sulit disana. Beradaptasi di negeri orang, menempa diri dan tentu rindunya akan berlipat lipat untuk tanah air Bagaimana tidak, magnet yang sangat dekat dan salik tarik menarik antar kutub harus terpisah sekian jauh. Walau jauh daya magnet itu masih terus menarik satu sama lain. Berpacu dalam rindu, menyapa dalam do’a.
Nining ingat betul kata terakhir di surat Fahri.
Jarak bukanlah sebagai pemisah.
Hanya sebagai jeda, agar kita saling memperbaiki diri.
Supaya kelak kau pantas untukku dan aku pantas untukmu
Maka, ia terus berusaha memantaskan diri. İa perlahan merangkak menggapai mimpi mimpi besarnya. Meski harus tertatih tatih, Nining tetap berjalan lurus kedepan. Fokus pada mimpinya. İa bukan lagi anak manja cerewet dan cengeng seperti yang Fahri kenal dulu. İa berubah menjadi anak yang pendiam dan menutup pintu hatinya rapat-rapat untuk siapapun yang datang. Namun, sifat egoisnya masih timbul dalam diri Nining. İa tak mau membukakan pintu itu untuk siapapun yang datang, biarlah mereka semua hanya sekedar lewat tapi jangan menetap. Karena ia hanya menanti pangeran dari Damaskus itu pulang.
Setelah dua tahun berlalu, kini datanglah saat wisuda itu. Dia tersenyum manis dengan make up tipis sehingga menambah kecantikan di wajahnya. Didepan guru guru, kedua orang tua dan teman temannya ia mulai membacakan seperempat juz setoran terakhirnya dilanjutkan membaca surat Ad-dhuha hingga An-Naas tanpa salah sedikitpun. İa membaca dengan pelan, tartil dan khusyu'. Suasana haru tak bisa dibendung lagi ditambah dengan suara Nining yang hampir hampir hilang karena ia telah menangis sejak ayat pertamanya dibacakan. Mata yang menyembunyikan luka itu terpejam dengan mulut yang terus melantunkan kalam dari-Nya. Hening beberapa saat setelah Nining usai di ayat terakhirnya. Semua larut dalam suasana haru dari gadis itu.
Mata kecil itu perlahan terbuka, bibir tipisnya melengkungkan senyuman. Kemudian ia melakukan sujud syukur. Mensyukuri segala nikmat yang tak pernah terhitung banyaknya yang diberikan oleh Tuhannya. Mensyukuri atas kelapangan hati yang diberikan oleh Tuhannya dalam mentadabburi Al-quran. Mensyukuri akan nikmat Al-quran yang dititipkan padanya. İa berjanji akan menjaga kalam-kalamNya. İa sadar betul, perjuangan malah baru akan dimulai. Penjagaan Al-quran dimulai saat ini. İa harus terus menjaga hafalannya. İa bawa Al-quran sampai mati dan semoga Al-quran jadi syafaat di akhirat nanti.
Saat pemberian syahadah telah usai, kedua orangtuanya memeluknya erat erat. merangkul dengan hangat serta tak henti terus mengucapkan terimakasih pada putri sulungnya itu. Hati Nining dipenuhi bunga kebahagaian. Janji Allah adalah benar. Dan Nining yakin, ia pasti akan memakaikan jubah kemuliaan serta mahkota dari cahaya untuk kedua orang tuanya kelak.
Dari ujung pintu, ada sesosok lelaki berdiri tegak melempar senyum.
Nining terbelalak.
İa mempercepat langkahnya. İa hapus air matanya. Langkahnya ia perlebar saat meniti tangga satu persatu. Jubah panjangnya ia angkat sedikit saat di tangga terakhir. Nafasnya memburu. De Javu. İa seperti pernah mengalami masa ini. Saat setelah wisuda SMA dan fahri memanggilnya untuk memberikan surat itu.
"Fah.. ri?" ucapnya lirih
Lelaki itu membalikkan badannya. Wajahnya tak berubah sedikitpun. Tetap menenangkan. dan selalu bisa membuatnya merasa aman. Hanya garis garis diwajahnya terlihat lebih tegas. İa bertambah dewasa pun bertambah tinggi.
"Bagaimana dengan mimpi mimpimu, anak keciiil?" tanyanya dengan nada sedikit mengejek
Nining menunduk. Dan ia hanya menggerutu akan sikap yang tetap saja menyebalkan dari Fahri.
"Aku masih mengejarnya. Sendiri."
"Bagaimana kalau berdua?"
"Maksudnya?"
"Apakah kamu mau, menemaniku berjuang disana? Kemudian kita menggapai mimpi mimpi kita bersama."
Hening.
Hati Nining berdegup lima kali lebih cepat dari sebelumnya.
"kamu bercanda lagi?" tanya Nining sinis
"İni serius ning-nong. İni proyek seumur hidup. Dunia akhirat loh. hehehe"
Nining memejamkan matanya menambil nafas dalam-dalam kemudian kembali menatap lelaki yang masih berdiri di depannya.
Matanya berembun dan ia mengangguk.
***
Ini bukan hanya sekedar hiburan atau sirkus dalam hidup semata. Rasanya kata kata Fahri tadi semerbak wangi terbukanya pintu surga. Entah bagaimana semua ini digambarkan, angan serasa sungkan untuk terus meraba bagaimana rasanya.
Bagaimana semua yang selama ini hanya menjadi film dalam fikirannya kini akan menjadi kenyataan. Hidup bersama dalam pengabdian terhadap tuhan dan dunia. Bersama saling menuntun kedalam surga.
“Dug dug dug… Allahu akbar, Allahu akbar”
Kemandang lantunan nida’ Ilahi telah berdendang, berdayu-dayu merambat masuk kedalam telinga nining, hingga memnarik ruhnya kembali pada jasad. Nining terbangun dari tidurnya. Mata bundarnya kini tak beda dengan mata panda. Nining mengucek matanya, hatinya merasakan sebuah kebahagiaan dalam tidurnya. Sejenak ia termenung, mengingat kembali apayang sebenarnya ia alami.
“kenapa tiba tiba hati ini terasa manis bahagia ? apa yang terjadi dalam tidurku ?”
Ia terus merefresh otaknya, lagi dan lagi. Berusaha menemukan apa mimpinya tadi. Tiba-tiba … kepala Nining terasa pusing dan melintaslah sebuah drama suka nan indah yang ia lihat dalam mimpinya. Tak lama kemudian ia sadar, bahwa kesengan yang ia rasa adalah atsar dari buah tidurnya.
“Ternyata semua itu cuma mimpi… huftt… ” (nining menghela nafas sedalam-dalamnya)
Alhamdulillah. Biar bagaimana pun ini adalah nikmat.
Nining beranjak dari tempatnya kemudian membasahi wajah, ia berwudu. Butiran air wudu mengalir halus tanpa beban dengan kawalan malaikat-malaikat rahmat. Tetesan itu menggambarkan hatinya yang kini mulai bisa tabah kembali mengalir menghadapi hidup, walau sempat terhadang batu besar di depannya, kini air itu kembali mengalir deras. Nining pun melaksanakan sholat magrib berjama’ah dii masjid.
***
Seusai sholat dan muroja’ah sedikit hafalanya, ia berniat untuk menulis sebuah balasan untuk surat Fahri.
“Tapi, gimana ngirimnya yah…? Dari mana aku tau alamat Fahri ? ”
Dia mengabaikan kata katanya tadi. Akhirnya ia menulis sebuah surat untuk sedikit menampar Fahri atas kelancangannya yang tak terlebih dahulu mengabarinya akan hijrahnya.
Bersambung…
Bagaimana isi surat Nining? Dan bagaimana cara nining menyampaikan suratnya ?
Tunggu lanjutannya yah …wkwkwkw
Terimakasih sudah membaca. Semoga manfaat dan berkah.
Kunir, 03 April 2017
Ahmad Asyad Algifari, TB (AL)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar