Minggu, 04 Juni 2017

Agar mengenal rindu, kita harus merelakan jarak bertamu

Saya ingin bercerita mengenai kisah yang berkaitan dengan jarak. Silahkan disimak, semoga ada sedikit pelajaran yang di dapat. Tentu tulisan ini masih jauh dari kata layak, tapi di dalamnya akan sedikit membuat hati terkoyak akibat rindu yang selalu saja datang berarak. Bagaimanapun saya masih harus banyak belajar, Karena saya hanyalah Sang amatiran penggila sastra yang bermimpi tulisannya dapat memotivasi siapapun yang hendak mengunjungi blog ini walaupun sekedar melihat judul atau berkenan untuk membaca puisi.
Baiklah,  kita lanjutkan..

Sebagai seorang wanita yang sedari kecil hidup dan mengenyam pendidikan di lingkungan yang itu itu saja, Saya tumbuh menjadi wanita penakut. Penakut dalam mengenal dunia luar. Mengenal wilayah asing, yang belum saya kenal.
Hingga suatu cerita, sesuatu memaksa saya untuk menjadi perantau di kota orang. Dikota yang saya sendiri belum pernah membayangkan sebelumnya. Kota yang dimana saya belajar menemukan orang orang ramah, tulus dan selalu tersenyum tanpa harus mengenal saya terlebih dulu. Serang, ibu kota banten inilah tempat saya mengadu nasib dengan pendidikan yang sedang saya tempuh. tepatnya di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa atau lebih dikenal dengan Untirta. Sebagian orang memandangnya remeh, bahkan selalu dijadikan pilihan kedua bagi mereka mereka yang lebih memilih universitas ternama dan terkemuka di negeri ini. Tapi bagi saya, suatu kebanggaan saya bisa berada disini, menjadi salah satu mahasiswi universitas ini. Karena sejatinya orang menilai bukan dimana kamu menutut ilmu tapi apa yang sudah kamu dapatkan dari ilmu itu.
6 bulan saya disini,  dikota sederhana dengan sejuta keindahannya. Kota yang orang orangnya masih menjunjung tinggi adat, akhlak serta kereligiusannya. Kota dengan motto(Kota Serang Madani)  kita akan paham bahwa tujuannya adalah mensejahterakan rakyatnya.
Oke, back to the title.
Saya anak kedua dari 4 bersaudara,  kaka saya sudah berkeluarga dan memilih tinggal dengan suaminya. Itu artinya peran sebagai kaka tertua jatuh kepada saya dan saya bangga akan hal itu hehe..
Saya suka menjadi penengah ketika kedua adik saya bertengkar, bahkan terkadang saya ikut bertengkar dengan mereka. Padahal hanya karena masalah  spele dan saya yakin kalian(reader)pun pernah mengalami hal yang saya alami. :D
Setelah memilih untuk mandiri dan jauh dari mereka. Saya selalu berkawan dengan rindu, selalu ingin bertemu dan mengulang ulang kejadian lucu ataupun bersiteru.
Walaupun satu minggu sekali saya pastikan pulang ke rumah,  tapi rasanya berbeda dengan sebelumya. Waktu terasa tidak pernah cukup untuk sekedar bercerita dan berkumpul dengan Mereka yang sedari dulu tau baik dan buruknya saya.

Disini saya belajar, bahwa untuk mengenal rindu kita harus relakan jarak bertamu.
Supaya mereka selalu menjadi alasan tertentu ketika saya pulang terburu buru, mengejar waktu agar cepat bertemu.
Saya suka mengulang ulang moment itu,  moment dimana mereka menunggu saya di depan pintu dan menyambut saya dengan peluk rindu.



😌😌😌😌😌😌😌😌😌😌😌😌😌😌😌

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Memahami oranglain bukan berarti menyakiti dirimu sendiri (uraian berdasarkan buku "Filosopi Teras")

Mungkinkah kita mampu bertahan dengan rasa sakit yang terdalam? Kunci bahagia bagi Stoa adalah manakala kita terhindar dari nafsu-nasfu yan...